Pengkhianatan



Cahaya lampu bersinar temaram hanya menerangi sebagian ruangan. Di kursi meja makan Rudi duduk termenung ditemani secangkir kopi hitam pekat. Sesekali dilirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi pintu depan tetap diam tidak bergerak sama sekali.

"Belum tidur bang?" Seorang gadis belia keluar dari salah satu ruangan.

"Belum, kenapa Timah bangun jam segini?" Tanya Rudi kepada adik perempuannya.

"Mau ke kamar mandi bang, aku kira abang sudah tidur dan lupa mematikan lampu karena masih terang. Apa menunggu bang Radit?"

Rudi mengamati adiknya yang akan beranjak menjadi wanita dewasa, "iya, abang menunggu Radit."

Setelah buang air kecil Fatimah duduk di kursi yang menghadap Rudi, "Bang Radit pulangnya pagi bang, karena dia buka usaha untuk cari uang tambahan, jadi lebih baik abang istirahat tidak usah ditunggu. Besok pagi saja kalau mau bicara." Saran Fatimah.

"Apa Radit sering pulang pagi?" Fatimah mengangguk, "selain rintis usaha Radit kerja apa Timah? Kenapa Radit bekerja? kan abang sudah kirim uang setiap bulannya untuk kalian dan abang kira jumlahnya cukup untuk sebulan."

Fatimah menatap lekat abang tertuanya, "entalah bang, timah juga tidak yakin tapi bang Radit bilang abang tidak pernah kirim uang lagi dan terpaksa bang Radit mulai kerja sejak dua bulan abang pindah kerja keluar pulau." Fatimah menjelaskan apa yang dia tau.

"Kenapa dia tidak bekerja di siang hari?" Fatimah menggeleng tanda tidak tau, "jadi sejak diterima kerja, Radit selalu bekerja malam hari?" Fatimah mengangguk. "Apa Timah tidak curiga dan menyelidiki pekerjaan Radit?" Rudi mencerca Fatimah dengan banyak pertanyaan karena penasaran.

"Timah pernah mengikuti bang Radit ke tempat kerjanya, tapi tiba-tiba Timah di ganggu preman yang badannya gede," Timah berhenti sejenak mengambil jeda untuk cerita, dia teringat akan kejadian waktu itu. "Untung saja bang Radit datang tepat waktu dan nolongin Timah." Timah diam lagi ," dan bang Radit marah besar." Timah tidak melanjutkan ceritanya membuat Rudi penasaran apa yang dialami adik bungsunya.

"Apa yang dilakukan para preman itu?

Fatimah mulai duduk gelisah, keringat dingin mulai bercucuran, sambil mengepalkan tangan di atas meja ingatannya kembali melayang pada saat malam itu. Melihat wajah adiknya berubah pucat pasi Rudi bergegas pindah tempat duduk lalu merangkul adiknya dan tangis pun pecah. Rudi terus mengusap pundak Fatimah agar lebih tenang. Apa yang terjadi pada keluarganya sejak dirinya dipindah tugaskan ke luar pulau. 

Setelah sedikit lebih tenang Fatimah mulai meneruskan ceritanya, "Timah hampir diperkosa oleh para preman itu bang," Ucap Fatimah, "Untung saja bang Radit datang tepat waktu dan para preman itu kabur saat melihat bang Radit, sejak saat itu Timah tidak pernah keluar malam atas perintah bang Radit."

Rudi langsung memeluk Fatimah, dirinya benar-benar syok mendengar cerita sang Adik, "maafkan abang ya, seharusnya abang tidak ambil pekerjaan itu, abang pikir dapat memperbaiki keadaan kita."

"Tidak apa- apa bang, semuanya sudah berlalu, Timah senang sekarang abang sudah pulang dan kita berkumpul lagi seperti dulu." Ucap Fatimah tapi perasaan bersalah sudah mulai tumbuh di hati Rudi.

"Ya sudah, Timah tidur gih ini masih malam." Perintah Rudi, Fatimah menurut, memeluk sang kakak sejenak karena rasa rindu bercampur gembira, baru beberapa jam mereka bertemu.

Kini Rudi seorang diri di ruangan itu. Begitu banyak petanyaan ada di kepalanya dan belum juga menemukan jawaban. Hari sudah subuh, azan sudah berkumandang tapi Radit belum juga pulang padahal dia harus kuliah. oh ya, apakah pekerjaan nya tidak menganggu kuliahnya? Rudi mengamati rumah peninggalan orang tuanya begitu banyak kenangan, tidak ada yang berubah sejak kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan.

"Abang tidak tidur?" Suara Fatimah mengejutkan nya dari lamunan, "ini sudah subuh, abang tidak lelah sejak pulang belum juga istirahat."

"Abang sudah banyak tidur di perjalanan, Timah sudah bangun?" 

"Timah biasa bangun jam segini bang, menyiapkan sarapan, membereskan rumah lalu bersiap untuk sekolah." Fatimah berlalu neninggalkan Rudi.

Rudi pun beranjak dari duduknya dan ke kamar mandi untuk menunaikan kewajibannya kepada sang pencipta. Di dalam sholatnya dia berdoa jika memang dia bersalah kepada keluarganya maka dia berharap bisa memperbaiki kesalahannya dan dimaafkan. "Bang sarapan lah dulu." Terdengar suara Fatimah dari luar kamar. Samar-samar tercium aroma pisang goreng beserta kopi hitam dan akhirnya suara pintu depan berderit pun terdengar. Rudi bergegas keluar kamar untuk bertemu adik laki- lakinya.

"Baru pulang dit?" Suara Rudi membuat Radit sedikit terlonjak.

"Pulang juga loe bang?" Ada sorot kebencian diwajah adiknya. "Gue kira loe nggak akan pulang, keasyikan kerja disono, tidak ada beban, toh bebas mau ngapain aja." Ada nada ejekkan dari ucapan Radit.

"Maksud kamu apa dit? Kenapa kamu bicara tidak sopan gini, pake bahasa loe gue," Rudi berusaha menahan diri. "Dari mana kamu jam segini baru pulang?" Rudi berusaha sabar melihat perilaku adiknya.

"Apa peduli loe? loe lebih peduli sama pekerjaan lo, kehidupan loe dan pacar loe itu, uups salah calon bini ya," Ledek Radit.

"Radit jangan kurang ajar kamu ya," tamparan keras menyentuh pipi Radit dan bekas tamparan lima jari itu tampak jelas.

"Kurang ajar loe ya berani nampar gue." Radit hendak membalas namun ditahan oleh Fatimah dan membisikkan jangan. Melihat air mata di pipi adik kesayangannya Radit menahan emosinya.

 "Sudah bang mending abang istirahat dulu pasti capek kerja kan." Fatimah menarik Radit ke dapur, memberikan satu gayung air untuk membasuh wajahnya, "bang jangan berkelahi dengan bang Rudi bagaimanapun dia abang kita, abang mandilah dulu lalu tidur, nanti siang kita bahas masalah ini bertiga."  Setelah itu Fatimah kembali menemui Rudi yang duduk melamun, "Bang, biarkan bang Radit Istirahat dulu, siang nanti baru kita bicara," Rudi mengangguk setuju, "Timah pamit berangkat ya bang." Fatimah pamit berangkat sekolah. 

Rudi masih duduk di tempatnya, ada perasaan bersalah karena telah menampar adiknya dan juga penasaran kenapa Radit begitu membencinya. Saat menoleh ke dapur tatapannya bertemu dengan mata Radit, sorot kebencian itu masih tepatri disana. Radit pun hiraukan Rudi dan memilih masuk kamar untuk tidur.

**
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, kini Rudi dan Radit duduk berhadapan tapi tidak satupun dari mereka yang bicara. Pisang goreng dan kopi hitam yang dingin masih teronggok utuh diatas meja tidak tersentuh.

"Assalamualaikum." Salam Fatimah saat masuk rumah dijawab bersamaan oleh kedua kakaknya, hal yang sederhana membuat Fatimah sangat bahagia,mereka telihat kompak meskipun sebenarnya ada selisih paham. Dilihatnya makanan yang dibuat pagi tadi masih utuh, "kalian tidak sarapan pagi tadi? Apa tidak lapar?" Tanyanya tapi tidak ada jawaban, Fatimah tersenyum melihat tingkah kedua kakaknya seperti anak kecil yang merajuk tidak dapat permen. Dia berlalu ke dapur mengeluarkan tiga nasi bungkus dan tiga kantong es jeruk untuk di santap bersama. "Nih, Timah belikan kalian makan siang. Berantemnya nanti saja soalnya tidak bikin kenyang. Kita makan dulu agar lebih tenang untuk berpikir dan berbicara, kata Ibu perut kenyang membuat pikiran kita lebih jernih dan mampu meredam emosi." Ucapan Fatimah barusan spontan membuat kedua kakaknya bergening lalu saling menatap. "Ayo kita makan nanti nasinya keburu dingin dan es nya keburu anget." Fatima langsung membuka nasi bungkus miliknya lalu bersantap dengan nikmat.

"Kalau nasi mungkin jadi dingin tapi mana ada es jadi anget." Radit membantah ucapan Fatimah. "Kecuali es jeruknya duduk diatas kompor," Rudi menimpali. Radit diam sejenak memperhatikan Rudi lalu berkata, "Bener banget tu bang." Radit membenarkan ucapan Rudi dan mereka terlihat kompak. Fatimah tersenyum melihat kedua kakaknya, perasaannya bertambah bahagia saat mereka bertiga bersantap sambil bercerita tentang masa kecil mereka.

Setelah selesai makan suasana kembali menegang karena harus menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka, lama terdiam akhirnya Rudi duluan yang buka suara.

"Sebenarnya abang ingin tahu apa yang terjadi dengan kalian selama abang kerja di luar pulau? kalian tidak bisa dihubungi sama sekali."

"Bukannya abang yang memutuskan kontak dengan kita berdua." Radit berussha untuk tenang, "Sebenarnya abang ingat kita tidak, apa masih ada rasa perduli pada kita?" Pertanyaan Radit membuat Rudi bingung.

"Tentu saja abang selalu ingat kalian, hampir setiap hari menghubungi nomor kalian tapi tidak ada yang aktif. Akhirnya abang menelpon sarah untuk menanyakan kabar kalian, tapi Sarah bilang kalian sempat ribut dan tidak pernah lagi bertemu." Rudi coba menjelaskan apa yang dia tahu.

Fatimah dan Radit saling memandang, " kami tdak ada masalah dengan mba Sarah bang, "Fatimah memperjelas keadaan,  malah mba Sarah sering kesini setiap awal bulan bawa makanan, bahan pokok keperluan dapur dan juga uang. Dia prihatin sama kita karena abang sudah tidak perduli sama kita." Ucap Fatimah. "Mmm, ponsel bang Radit sebenernya hilang bang, tidak tau hilang dicuri orang atau jatuh tidak sengaja. Ponsel Timah memang sengaja dijual untuk biaya sekolah."

"Kenapa ponsel Timah dijual? apa uang yang abang kirim tiap bulannya tidak cukup? Ponsel itu barang penting untuk kita komunikasi." Fatimah dan Radit saling menatap, mereka tidak salah dengar apa yang baru saja diucapkan Rudi.

"Memangnya abang kirim uang bulanan buat kita? Abang kirim kemana?" Tanya Radit.

"Loh kok kamu nanya kayak gitu dit, tentu saja abang kirim uang setiap bulan ke rekening kamu. Mana mungkin abang lari dari tanggung jawab untuk menafkahi kalian." Rudi mengeluarkan bukti transfer tiap bulannya  yang sengaja dia simpan lalu menunjukkan kepada kedua adiknya. " Nah ini bukti abang selalu kiromin uang buat kalian. Abang pikir meskipun kalian tidak bisa dihubungi setidaknya kalian tidak kekurangan uang." Radit bicara dengan yakin

"Tapi bang, aku selalu cek rekening tiap bulan tapi tidak ada uang transferan yang masuk dari abang." Radit membantah keyakinan Rudi. "Jika memang uangnya masuk ke rekening mana mungkin kami jual ponsel."

"Kami yakin sudah periksa rekening kamu tiap bulannya, sudah cetak buku rekening belum? Kalau tidak ada di rekening lalu kemana larinya uang itu? Tapi abang yakin selalu kirim uang ke rekening Radit." Rudi meyakinkan kedua adiknya karena ada keraguan dimata mereka bahwa dia berbohong.

"Abang yakin kirimnya ke rekening aku? Atau ke transfee ke rekening mba Sarah?" Tanya Radit sekali lagi.

"Tentu saja abang kirim ke rekening kamu," Rudi berhenti sejenak, "Memangnya nomor-nomor diponsel Timah tidak dicatat dulu sebelum dijual? Jadi kalian bisa tetap telpon abang ." Ucap Rudi penasaran kenapa adiknya bisa ceroboh padahal  yang dia tau fatimah itu orangnya teliti.

"Sudah bang, timah sudah salin semua nomor orang yang ada di ponsel timah, tapi anehnya nomor abang susah dihubungi alasannya nomor yang dituju salah " Fatimah membela diri dari tuduhan kakaknya.

"Masa sih, coba lihat nomor ponsel abang yang kamu catat." Fatimah mengambil buku telpon dikamarnya lalu mereka mencocokkan angka ternyata ada tiga angka terakhir yang salah. Rudi diam sejenak lalu tatapannya beralih pada Radit, "jadi gimana kuliah kamu? Hari ni abang lihat kamu tidak kuliah." 

"Aku lagi pengajuan cuti kuliah bang, kalo gak dapat ijin aku pilih DO." Jawab Radit. "Jangan tanya kenapa alasannya bang, abang sudah tau sendiri kita berdua butuh uang untuk terus hidup. Fatimah, dia masih SMA tidak mungkin dia berhenti sekolah selama masih menempuh pendidikan formal apa kata orang, sedangkan aku kuliah bisa dilanjutkan kapan saja selagi kita mampu dan masih hidup. Kiriman uang dari abang tidak pernah sampai ke kita ya terpaksa aku herhenti kuliah dan cari kerja." 

Rudi terhenyak di kursi, tidak tau salah siapa bukan salah kedua adiknya, bukan juga salah dirinya. Dia tidak bisa berkata apa-apa.

"Bang," panggilan Radit dihiraukan kerana Rudi sibuk dengan pikirannya sendiri, "Bang," akhirnya Rudi menoleh, "ini sudah sore, aku mau bersiap kerja nanti kita lanjutkan lagi." Radit beranjak menuju kamarnya.

"Timah juga ya bang, mau beres- beres dulu." Pamit Fatimah.

Pikiran Rudi kembali melayang mencoba mengurai benang kusut yang tengah mereka alami. Tidak mungkin kedua adiknya berbohong sedangkan kehidupan mereka berdua jauh dari kata layak. Radit hanya bekerja di kafe berapa besar upah yang dia terima setiap bulannya. Pikiran nya terputus karena dering ponsel yang dilayarnya muncul bentuk hati.

"Assalamualaikum, sarah."

"............."

"Oh, aku masih kerja kayaknya aku belum bisa pulang sampai akhir bulan nanti. Iya pengajuan cutiku belum disetujui. nanti aku kabarin jika aku sudah dapat ijin dan akan pulang."

"............"

"Tidak usah cemas, aku baik-baik saja. Apa kamu sudah dapat kabar dari adik-adikku?"

"..........."

"Belum ada, belum ketemu. Iya... Iya, kamu kerja kan hari ni?  Ya sudah nanti kita sambung lagi aku mau lanjut kerja. Assalamualaikum." Rudi pun menutup sambungan telpon.

Fatimah bingung kenapa abangnya berbohong padahal dia sudah pulang kerumah sejak kemarin. "Mba Sarah tidak tau kalau abang sudah pulang? Kenapa abang berbohong?" Tanya Fatimah penasaran.

"Emm, abang masih bingung dengan apa yang terjadi. Kenapa Sarah bohong sama abang padahal abang selalu terbuka tentang segalanya. Tadinya abang sengaja tidak beri tahu mau bikin kejutan, tapi abang yang dapat kejutan. Apakah Sarah sering main ke sini? Tanya Rudi.

"Jarang bang, Waktu awal abang kerja di luar pulau mba Sarah sering main ke sini, tapi sekarang sudah jarang mungkin karena sudah sibuk kerja, tapi setiap tanggal tiga dia pasti ke sini suka antarin makanan buat kita terkadang kasih Timah uang."  Rudi mencerna setiap perkataan Fatimah.

"Benarkah, syukurlah kalau begitu, tandanya dia calon kakak ipar yang baik." Rudi tersenyum kecut 

Radit keluar dari kamar dengan pakaian rapi, "bang, mah, aku berangkat dulu."

"Kamu sudah mau berangkat, lembur sampai pagi lagi?" Tanya Rudi.

"Tidak bang, kafe tempat aku kerja buka dari jam delapan pagi dan tutup jam sebelas malam, sisanya  aku buka warung pinggir jalan baru rintis usaha sama teman bang, buka warung subuh lumayan rame karena pagi orang sudah cari makan." Jelas Radit sambil memakai sepatu dan makan pisang goreng tadi pagi.

"Itu lembur namanya, Bagus kalau begitu." Dukung Rudi.

**
"Abang belum tidur?" Sapa Fatimah saat keluar dari kamar masih melihat Rudi duduk dengan secangkir kopi hitam.

"Belum." Jawab Rudi, Fatima langsung menuju kamar mandi yang merupakan tujuan awalnya. "Timah," panggil Rudi memberi aba-aba agar duduk disampingnya, "Besok kalian cetak buku rekening bank Radit untuk melihat saldo tabungan, mutaai debet dan kreditnya." Perintah Rudi antusias. Jika memang uang itu masuk ke rekening Radit tiap bulan pasti tercatat sebagai traksaksi di buku rekening bila ternyata hilang bearti ada siber yang 
Sudah meretas rekening radit.

"Baik bang." Nanti Timah bilang sama kak Radit.

"Timah jangan bilang pada siapa pun kecuali Radit tentang hal ini dan tolong rahasiakan jika abang sudah pulang ya, kita harus menyusun rencana untuk menemukan orang yang telah melakukan semua ini. dan jangan bilang pada siapa pun kalau abang sudah pulang ya." Fatimah mengerti. Rudi pun melihat kalender, jika perkiraannya benar maka pelakunya pasti ditemukan.

"Memangnya ada apa bang?" Tanya Fatimah penasaran kemudian Rudi menjelaskan apa yang ada dipikirannya.

03 Oktober 2022 Sore

"Assalamu'alaikum." 

"Walaikumsalam. Mba Sarah sudah lama tidak kemari." Sapa Fatimah 

"Iya, mba sibuk banget jadi tidak sempat kesini. Mba kangen sama kamu dan juga Radit." Sarah langsung memeluk Fatimah, "oh ya ini ada sedikit makanan buat kalian, dan ini ada uang jajan timah."

"Ah, tidak usah mba nanti mba perlu uangnya, lagi pula yang di kasih Mas Radit cukup kok buat Timah." Tolak Fatimah.

"Radit masih kerja?" Fatimah mengangguk, "Sayang bang Rudi belum mau pulang, karena masih betah di sana, kadang mba kesal mungkin dia selingkuh di sana." Ucap Sarah.

Fatimah tersenyum kecut, benarkah bang Rudi tidak mau pulang apa tidak merindukan kami. "Kenapa bang Rudi tidak mau pulang, mba?" 

"Entahlah Timah, mba berulang kali tanya tapi dia tidak menjawab, kamu yang sabar ya." Sara berusaha menenangkan. "Apa Rudi tidak pernah kasih kabar?" Fatimah hanya menggeleng dan Sarah langsung memeluknya iba, "nanti mba bilang sama bang Rudi, kok dia tega tidak menghubungi kalian." 

"Tidak apa-apa kok mba, mungkin bang Rudi sedang sibuk." Fatimah mencoba tegar 

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Jawab mereka berdua.

"Kak Beni, silahkan masuk. Sudah lama sekali tidak mampir ke rumah ada perlu apa?" Fatimah menjamu kedua tamunya teh hangat.

"Iya Timah, kakak ada perlu sama Radit" dijawab Beni, "apa Radit ada?" Tanya Beni.

"Bang Radit baru saja berangkat kerja, memangnya ada perlu apa ya kak?" Tanya Fatimah penasaran.

"Gini Fatimah, Radit minta tolong sama kakak Mau pinjam uang di bank tempat kakak kerja dan  rumah ini sebagai jaminannya." Ucapan Beni barusan membuat Fatimah terkejut teganya Radit mau menggadaikan rumah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya.

"Apa tidak sebaiknya menunggu Bang Radit saja kak, soalnya Fatimah tidak mengerti atau kakak telpon bang Radit dulu aja." Jawab Fatimah polos. Beni mengangguk setuju lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Radit di teras, "mba Sarah boleh ambilin pisang goreng di atas kulkas dapur buat makan kita." Sarah tersenyum lalu beranjak ke dapur.

"Sebenarnya kakak juga sudah nasehati Radit untuk berpikir ulang, tapi Radit tetap kekeh mau pinjam alasannya buat tambah modal usahanya yang mulai maju dan dia butuh dananya besok jadi hari ini berkas sudah harus kakak ajukan keatasan biar besok uangnya bisa cair, jadi sebagai perwakilan Fatimah bisa menandatangi ini dengan surat kuasa." Beni mencoba meyakinkan, Fatimah yang bingung melirik Sarah untuk memberikan pendapat tapi jawabannya yang diterimanya sungguh tidak memuaskan hati. "Timah tidak usah takut Radit sudah setuju jika Timah yang tanda tangan aebagai perwakilan.

"Kak mendingan ke tempat kerja Bang Radit aja, Timah tidak mengerti nanti Timah Melakukan kesalahan." Fatimah mulai cemas seandainya kakaknya ada disini.

"Tidak apa-apa Timah, kan Radit sudah beri persetujuan tadi kak beni baru telpon atas perintah kamu." Kini giliran Sarah yang coba meyakinkan, " lihat ini sudah ada tanda tangan Radit." Fatimah melihat surat kuasa itu.

"Kalau benar ini tanda tangan bang Radit kenapa tidak langsung tanda tangan di berkas itu, kak Beni aneh deh, mau mengkadalin Fatimah ya" Ucap Fatimah dengan berani.

"Maksud Fatimah apa? Kakak tidak mengerti."
Beni pura-pura tidak paham apa yang diucapkan Fatimah.

"Seingat saya tidak pernah bilang sama kamu untuk pinjam uang ke bank." Jawab Radit muncul dari arah dapur bersama seorang pria berjaket kulit.

Wajah Beni pias karena terkejut, berbeda dengan Sarah yang terlihat tenang.  Beni bergegas mengambil berkas diatas meja namun gagal karena kalah cepat dengan Fatimah.

"Loh Radit masih di Rumah." Sarah melihat Fatimah yang ternyata berbohong. "Ben langsung aja minta tanda tangan Radit". Ucap Sarah lugu pada Beni.

"Lo bisa-bisa nya tenang Sarah dalam keadaan gini." Beni gelisah dan bersiap kabur

"Mba Sarah tidak usah pura-pura deh, ini semua kerjaan kalian berdua kan? Udah ngaku aja. Ucap Radit.

"Apa maksud kamu?" Sarah marah," aku tidak ada hubungannya dengan Beni. Lagian kamu jangan kurang ajar ya, aku ini pacar abang kamu, aku bisa aduin ke Rudi kalau kamu nuduh aku kayak gini yang tidak ada buktinya." Sarah terus membela diri.

"Aku memang tidak ada bukti, tapi aku ada saksi." Mendengar ucapan Radit Beni berusaha kabur, dengan sigap Radit dan pria berjaket kulit itu menangkap Beni.

Sarah yang melihat kejadian itu berusaha tenang walaupun dirinya sudah mulai gentar, "saksi apa memangnya saya berbuat salah." Ucap Sarah dengan sombongnya, "kalian itu beruntung saya masih peduli dengan kalian, mengantarkan makanan, kasih uang tapi apa yang saya dapat hinaan dan tuduhan yang tidak masuk akal."

"Makanan dan uang yang kamu berikan adalah benar dari uang kerja kamu atau hasil curi dari rekening Radit, adik aku?" Sarah kaget mendengar ucapan Rudi yang muncul dari pintu depan bersama beberapa orang polisi.

"Maksud kamu apa sayang, Aku tidak mengerti." Sarah memasang wajah polosnya.

"Tanggal satu oktober kemarin aku ada transfer uang ke rekening Radit dan setiap tanggal satu juga kamu pasti telpon aku dan bertanya apakah aku sudah mentrasfer atau belum." Kemudian Rudi memutar rekaman pembicaraan dia dan Sarah di telpon.

"Itu tidak bisa sebagai bukti kalau aku yang mencuri uang di rekening adik kamu." Sarah masih berkilah.

"Ini rekening koran dari rekening Radit dan disitu tertera penarikan uang sebesar yang aku transfer masuk ke rekening atas nama kamu Sarah." Sarah pucat bagaimana Rudi bisa berbuat sejauh ini dan kenapa dia tidak bertindak cepat.

"Mana mungkin sayang, mungkin ada yang menjebak aku." Sarah masih menyangkal

"Tidak usah menghindar mba Sarah, bukti sudah menunjukkan mba salah. Bodohnya aku percaya ketika mba pinjam pin ATM dan buku tabungan aku waktu itu." Ucap Radit, "dan mba juga sudah sekongkol bersama Beni untuk mengambil kuasa penjualan rumah ini, buktinya sudah di pegang Fatimah. Jadi mba mau berkilah apa lagi?"

"Teganya kamu mengkhianati aku, bukan hanya mengkhianati soal ini tapi juga mengkhianati cintaku." Rudi menghapus air matanya, "kamu berselingkuh dengan Beni sambil menikmati uang yang seharusnya hak adik-adikku, padahal aku sangat percaya sama kamu." Sarah berlutut dihadapan Rudi meminta maaf.

"Bapak Silahkan bawa mba Sarah, bukti-buktinya sudah saya serahkan semua di kantor." Pria berjaket kulit itu memberi perintah kepada anak buahnya untuk membawa Sarah. Sarah berteriak tidak terima atas perlakuan Rudi.

Radit dan Fatimah memeluk kakaknya yang terlihat Rapuh. "Abang harus kuat." Hibur Radit.

"Tentu saja abang kuat karena ada kalian, adik-adik abang." Rudi tersenyum membalas pelukan erat saudaranya. "Ini adalah kejahatan siber, kita tidak tau datang dari mana bisa dari orang terdekat seperti Sarah. Jadi jangan mudah percaya pada siapa pun dan jangan memberi data pribadi pada siapa pun." Nasehat Rudi.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Train to Busan

Dengar Alam Bernyanyi Mengetuk Hati

BERANI JADI DIRI SENDIRI DENGAN ASUS VIVOBOOK S14 S433